Click here to go to blog index

Slide PPT PDF Semarang Postmodern klik disini

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/06/13/149437/Kota-Semarang-Menuju-Kota-Posmodern   download article

 

Harian SUARA MERDEKA

Berita Utama

13 Juni 2011

Kota Semarang Menuju Kota Posmodern

  • Oleh Rudyanto Soesilo
BERDASAR hasil survei Ikatan Ahli Perencana (IAP) tentang kenyamanan suatu kota bagi warga, Semarang dengan nilai 52,52 berada pada urutan kedelapan dari 12 kota yang disurvei. Adapun Yogyakarta merupakan kota ternyaman (most liveable city) dibandingkan dengan 11 kota besar lain. Urutan ke-12 kota itu adalah Yogyakarta (nilai 65,34), disusul Manado, Makassar, Bandung, Jayapura, Surabaya, Banjarmasin, Semarang, Medan, Palangkaraya, Jakarta, dan Pontianak (43,65). Nilai tertinggi 100, yakni sangat nyaman. Lepas dari validitas dan reliabilitas survei itu, yang diakui penyelenggara tidak untuk membanding-bandingkan dan dilakukan terhadap 100 orang warga setiap kota, kita sebagai warga kota Semarang perlulah memaknai.

Sebenarnya dari kacamata lebih menyeluruh dalam skenario perkembangan suatu kota, “kenyamanan warga” adalah landasan utama sekaligus tujuan ultima untuk memasuki tahap-tahap berikutnya, yakni keterbentukan pemahaman akan potensi kota. Pemahaman itu akan memunculkan kesadaran untuk menjaga, menata, merawat, dan ikut memasarkan kota yang tentu akan menambah kesejahteraan bagi warga dan kota. Alhasil, dapat merengkuh tujuan akhir: kembali lagi ke kenyamanan warga kota. 

Pemahaman tentang jati diri suatu kota sangat perlu bagi warga kota, apalagi bagi para pengelola kota. Semarang sejak awal merupakan kota modern fungsional, bandar perdagangan, dan bermula dari kota kolonial pascamedieval. Sampai sekarang pun Semarang masih meneruskan peran sebagai kota perdagangan, selain fungsi-fungsi lain.

Karena itu tak mengherankan bahwa Semarang memiliki aset pusaka budaya eks kolonial, yakni Kota Lama dengan Little Nederland, Lawangsewu, Gereja Blenduk, aneka sentra permukiman seperti Kauman, pecinan, pekojan, hasil kebijakan divide et impera saat itu. Mungkin juga banyak warga Semarang lupa bahwa Semarang adalah kota pantai, waterfront city, saking tak tereksposenya pantai di Semarang bagi khalayak. Bukit Candi adalah salah satu keistimewaan Semarang yang sulit dicari tandingan, yang dulu dimanfaatkan dengan jeli oleh arsitek Thomas Karsten menjadi kota satelit pertama untuk Semarang sebagai hunian bagi para petinggi kolonial waktu itu. Semarang juga terkenal sebagi kota kuliner dengan loenpia, bandeng, dan lain-lain. Kini, Semarang juga terkenal sebagai kota banjir dan rob yang memerlukan perhatian tersendiri.

Di Inggris terlihat jelas, setiap kota progresif dan proaktif memasarkan diri masing-masing. Setiap kota berlomba-lomba mengunggulkan kebolehan, kehebatan, keunikan di segala bidang, dari kuliner, pemandangan alam, tempat belanja, restoran, hingga hal-hal remeh temeh. Semua diunggulkan. Pariwisata, dolan, rekreasi, lancong-lancong merupakan perwujudan gaya hidup manusia kosmopolitan modern, leisure-time, yang perlu segera ditangkap peluangnya oleh setiap kota. Jadi puncak kecintaan warga terhadap kotanya adalah mempromosikan kotanya, melayani, meladeni, dan merawat para pelancong yang datang ke kotanya, yang memunculkan pendapatan bagi kota dan warganya, dan akhirnya meningkatkan kesejahteraan serta kenyamanan tinggal di kota.

Kota Posmodern

Nah, lantas dari mana kita mulai bertindak untuk meningkatkan kenyamanan tinggal di kota tercinta ini? Kini, Semarang telah berkembang dengan berbagai kota satelit, seperti Ngaliyan, Tlogosari, Banyumanik, Tanahmas. Satelit-satelit itu cukup maju dan berhasil dengan mengembangkan pusat-pusat masing-masing (multipolar), selain pusat-pusat industri yang juga tumbuh sebagai satelit-satelit tersendiri.

Berangkat dari suatu kota modern, Semarang kini seyogianya memasuki era kota posmodern. Sejak 1970-an pergolakan pemikiran umat manusia telah meninggalkan kemodernan. Dunia telah bergeser dari kaidah-kaidah modern yang menimbulkan krisis ekologi, global warming, dan krisis kemanusiaan — termasuk paradigma penataan kota — menggantinya dengan paradigma posmodern yang bersifat pro-ekologi, prorakyat (ordinary-people) , pro-local genius, prosejarah. Paradigma posmodern yang berbasis participatory planning and urban designing mengajak masyarakat terlibat perencanaan lingkungan dan kota. Prorakyat juga diwujudkan dengan pemberdayaan masyarakat dan konsep pembangunan bertumpu pada masyarakat (community based development).

Kota posmodern tidak me-ruilslag, menghancurkan, menggusur, dan membusukkan bangunan-bangunan lama. Namun merangkaikan dengan pembangunan baru (prosejarah) atau justru memisahkannya, mengonservasi seluruh zona wilayah kota lama dan mewadahi hasrat pembangunan baru dengan zona baru seperti La Defense di Paris yang ultamodern, sementara kita tetap dapat menikmati suasana the most romantic town, kota Paris dengan kafe-kafenya. Bayangkan jika kita ke Paris dan hanya menjumpai kota yang penuh kaca dan beton!

Dengan paradigma penataan dan pembangunan kota posmodern, warga kota terhindar dari rasa terasing, teralienasi, karena penataan modernis yang melahirkan pulau-pulau dengan menara-menara megah, yang bila kita ingin berpindah dari satu gedung ke gedung lain terpaksa menggunakan mobil seperti di Jalan Thamrin Jakarta, manusia lantas menjadi makhluk alien yang thingak-thinguk seperti cah-ilang di belantara hutan beton dan kaca metropolitan. Pada kota posmodern, pedagang kali lima tidak tergusur sia-sia, tetapi diwadahi, diorganisasi, dan difasilitasi menjadi “Semarang Bazar”, yang diselingi berbagai festival, seperti Festival Warag Ngendhog dan Dhugdheran. Paradigma posmodern yang prorakyat mewadahi rakyat kebanyakan di ruang-ruang publik kota. Pedestrian alias fasilitas untuk pejalan kaki dan para difabel tersedia dan terawat rapi, didesain sangat tropis sesuai dengan iklim Semarang sebagai kota pantai, sehingga membutuhkan vegetasi khusus yang eyub.

Dalam paradigma posmodern, rakyat kecil, kebudayaan masyarakat (mass culture) diterima sebagai bagian dari penerimaan posmodernisme pada realitas yang plural. Mereka tidak dipinggirkan, tetapi justru diangkat, diketengahkan, dan menjadi keunikan yang khas. Jadi bazar semarangan justru merupakan peristiwa budaya, pergelaran budaya yang menyatu di ruang-ruang publik. Realitas keberadaan rakyat kecil diterima sebagai bagian integral masyarakat Indonesia; negara sedang berkembang dengan segala dinamikanya. Bagian terbesar rakyat itu justru disubsidi dan diwadahi di ruang-ruang publik kota. Tidak malah diingkari dan diumpetkan dari ruang-ruang publik kota.

Kriteria kenyamanan huni suatu kota bagi sebagian besar warga kota, berdasar survei IAP, antara lain meliputi kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan, pencemaran, kondisi jalan, fasilitas pejalan kaki, kaum difabel, kesehatan, pendidikan, air bersih, jaringan telekomunikasi, pelayanan publik, hubungan antarpenduduk, listrik, fasilitas rekreasi. Karena kriteria survei itu memang mengacu ke paradigma posmodern, jadi ya berbagai kriteria itu akan terpenuhi dengan menjalankan paradigma posmodern.

Dengan kebijakan prorakyat, mengetengahkan rakyat kecil berarti penyediaan ruang terbuka kota dan penataan kota memadai sekaligus prosejarah, melindungi bangunan bersejarah dan merangkai dengan bangunan-bangunan baru masa kini. Kebijakan itu menimbulkan keunikan fasilitas rekreasi yang mendatangkan para pelancong yang menghidupkan kota, yang memungkinkan cukup tersedia anggaran untuk meningkatkan jaringan listrik, air bersih, telekomunikasi, pelayanan publik, ketersediaan subsidi untuk pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kondisi jalan. Ketersediaan dan kondisi fasilitas yang prima dan terawat menimbulkan kebangkitan semangat investor berinvestasi sehingga terbukalah kesempatan kerja bagi warga kota.  Jadi muncullah reaksi berantai seperti spiral yang selalu mengarah menuju perbaikan dan perbaikan.

Semarang memang bukan Yogyakarta, bukan Solo. Justru itulah kekuatan Semarang. Berawal dari kota modern fungsional, Semarang kini beranjak menuju kota posmodern tanpa beban apa-apa. Semarang dapat mengembangkan seni posmodern di setiap sudut kota, mengembangkan pusat-pusat kegiatan kaum muda yang telah terlupakan, sehingga anak-anak tak lagi bermain di jalan-jalan, remaja tak lagi berkeliaran di mal-mal. Pusat kegiatan kaum muda itu dapat menggiatkan seni posmodern sekaligus mengangkat kesenian tradisional dan modern secara simultan. Dengan greenship paradigm, warga dan para pengelola Kota Semarang dapat memandang Semarang sebagai suatu big-big-big landscape,  bentang alam nan hijau — di dalamnya tertata karya-karya arsitektur berupa hunian, pusat-pusat perdagangan, pusat-pusat rekreasi, pusat-pusat pendidikan, pusat-pusat industri. Bukan sebaliknya, kota dilihat sebagai keterserakan berbagai bangunan dengan sisa-sisa lahan terbuka. Dengan green paradigm, terciptalah Kota Semarang Hijau dengan taburan karya seni posmo yang dapat diapresiasi semua kalangan, sculpture, mural, karya digital, sehingga ruang publik kota menjadi panggung besar, big-big-big stage, untuk gereget dan gairah kebangkitan seni kaum muda Semarang.

Memang untuk mencapai “Kota Posmo Semarang” butuh kiprah dan tekad dari warga. Jika bertandang ke Yogyakarta, kita merasakan betapa warga Yogya sangat menghargai “tamu-tamu kota” mereka. Jadi warga Semarang perlu belajar tentang hal itu. Jangan sampai justru bila ada pengemudi kendaraan berpelat non-H kebingungan di jalan-jalan Kota Semarang, malah diklakson keras-keras. Bukan diberi tahu arah yang benar!

Selama ini warga Semarang masih sibuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Upreg karepe dhewe! Apalagi kok mikirin tamu kota! Kita harus mengembangkan semangat menerima tamu. Bukankah kita masih ingat tembang: “E dayohe teka, e gelarna klasa””? Syukur-syukur, klasane ora bolong.

Tentu nasib suatu kota sangat ditentukan oleh pengelola kota. Karena itu perlu semangat dan ambegan besar dari para pengelola kota. Melihat gebrakan-gebrakan dari pengelola sekarang — jajaran Soemarmo HS — tampaknya world-view yang dianut  match dengan paradigma posmodern. Perkembangan itu memberikan kans besar bagi Kota Semarang dan segenap warga.

Tetangga kita, Kota Solo, yang notabene sarat berbagai simbol sebagai kota budaya, telah mampu memecahkan telur suatu model pengelolaan kota yang “pas” bagi suatu tipologi kota warisan budaya. Kota Semarang dengan tipologi berbeda, sebagaimana telah kita bahas, tampaknya akan memecahkan telur yang lain: menjadi suatu model pengelolaan kota masa kini yang mutakhir, Kota Posmo Semarang! (51)

— Dr Ir A Rudyanto Soesilo MSA, anggota Pusat Studi Urban, Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata Semarang

Keywords: Kota, Semarang, Postmodern

Share :
     
A. RUDYANTO SOESILO

About me :

Foto Pidato Lustrum I UnikaPidato Dies Natalis XXIX, 5 Agustus 2011Presenting Unity in Diversity ConservationCertificate of the Best paper AwardPembicara utama Seminar Arsitektur PopulisWebinar pembukan Program Doktor Arsitektur Digital

 

  Facebook account

Untuk para pengagum kehidupan, pemikiran, seni, musik dan arsitektur yang berkarya, belajar, mengagumi, mencintai dan ingin menyemaikan nya.

 :

Dr.Ir.A.Rudyanto Soesilo MSA

Lecturer - Architect - Composer 

 :

 :

NB: bila anda membuka blog ini, beri koment n alamat email anda agar dapat berdiskusi, Nuwun